Jangan Sampai Besar Pasak Daripada Tiang (Sindo, 11 Maret 2023)

 


Jangan Sampai Besar Pasak Daripada Tiang

Madeleine Hart Filiapuspa
Ekonom Yunior Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali
Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja

Sedikitnya 2 dari 5 pelanggan Buy Now Pay Later di Inggris melakukan pinjaman untuk membayar tagihan Buy Now Pay Later-nya. Hasil studi ini dikemukakan oleh Citizens Advice pada Juni 2022. Fenomena Buy Now Pay Later nyatanya terus berkembang di masyarakat, termasuk Indonesia. Menurut Businesswire, tren Buy Now Pay Later diperkirakan tumbuh sebesar 22,9% secara tahunan pada tahun 2023. Tentunya, hal ini merupakan sebuah inovasi pada metode pembayaran yang juga mendukung tercapainya keuangan inklusif. Terobosan ini perlu disikapi secara bijak agar tepat sasaran dan berdampak positif pada perekonomian Indonesia. Namun, apakah kita sudah siap untuk menyambut metode pembayaran di era digital ini?

Berdasarkan penelitian dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) terkait Profil Internet Indonesia 2022, menarik bahwa ternyata tingkat penetrasi internet di Indonesia kini meningkat menjadi 77,02% dari yang sebelumnya sebesar 73,70%. Konten yang sangat sering diakses adalah media sosial (89,15%). Selebihnya, shopping online menduduki peringkat ketiga (21,26%) dan aplikasi dompet elektronik menduduki peringkat terakhir (1,37%).

Angka ini tentu merupakan peluang emas untuk masuk ke era digital di berbagai aspek kehidupan, khususnya pada sistem dan metode pembayaran. Sistem pembayaran Indonesia terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Berbagai inovasi layanan terus diluncurkan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di sistem pembayaran. Lebih dari itu, kanal pembayaran secara digital juga terus dikembangkan ke berbagai sektor, tidak terkecuali transaksi pemerintah daerah.

Dalam hal ini, Bank Indonesia terus mendukung upaya pemerintah dalam mempercepat dan memperluas digitalisasi daerah. Hal ini terwujud dengan keanggotaan Bank Indonesia dalam Satuan Tugas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (Satgas P2DD). Berbagai inisiatif terus diluncurkan, termasuk melalui ekstensifikasi kanal pembayaran transaksi di daerah. Tidak lain tidak bukan, inisiatif ini bertujuan untuk mempercepat dan memperluas digitalisasi di tingkat daerah. Seiring berjalannya waktu, tentu masyarakat diharapkan akan terus semakin siap dan berkembang untuk sistem pembayaran digital.

Tak dapat dipungkiri, kanal pembayaran digital memberikan berjuta manfaat dan kemudahan yang memanjakan penggunanya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, melakukan pembayaran semudah menambahkan teman di sosial media. Hanya dengan 1 sentuhan, melalui Quick Response Code (QR Code), misalnya. QR code seperti muncul di saat yang tepat menjelang pandemi Covid-19 dan seakan menjadi akselerator dalam sistem pembayaran di Indonesia. Masih ingatkah kita akan maraknya promo yang diberikan saat metode QR baru diluncurkan? Tanpa butuh waktu lama, masyarakat yang sebelumnya masih berpegang sepenuhnya pada uang cash perlahan menjadi bergeser menggunakan QR code.

QR code menjadi salah satu senjata untuk mencapai keuangan inklusif yang dapat memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, baik lokal maupun nasional. QR code dapat menyasar seluruh kalangan, baik dari masyarakat yang sudah mengenal bank maupun belum mengenal (biasa kita kenal dengan istilah unbanked). Berbagai QR code yang bermunculan kemudian distandarisasi oleh Bank Indonesia menggunakan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) (baca: KRIS). 

Tidak berhenti di situ, masyarakat kemudian ditawarkan ke metode pembayaran kemudian hari atau biasa kita kenal dengan istilah pay later. Berbagai promo yang sebelumnya diberikan untuk pembayaran QR juga dirasakan pengguna pay later. Metode pay later sebenarnya tidak sepenuhnya baru. Metode ini serupa dengan pembayaran menggunakan kartu kredit yang sudah sejak lama kita kenal, yakni seperti metode ‘berhutang’. Pay later juga menawarkan opsi pembayaran dengan cara dicicil. Serupa tapi tak sama, bukan? Namun, kedua metode pembayaran ini tetap memiliki perbedaan.

Salah satu perbedaannya terletak pada proses pengajuan menjadi nasabah. Pada kartu kredit, terdapat persyaratan lain yang dibutuhkan selain KTP, seperti slip gaji misalnya. Tentunya hal ini adalah bagian dari manajemen risiko yang dilakukan oleh perbankan. Di samping itu, pengguna pay later tidak harus memiliki suatu rekening khusus untuk dapat menikmati fitur pay later pada penyedia jasa pembayaran non-bank. Namun, untuk dapat menggunakan fitur cicilan di pay later, terdapat kriteria khusus yang harus dipenuhi oleh pengguna. Lagi-lagi, hal ini merupakan bagian untuk melakukan manajemen risiko. Di tataran teknis, kartu kredit menggunakan kartu untuk melakukan transaksi, sedangkan pay later cukup dengan melakukan pemindaian QR code saja. 

Kemudahan ini perlu diimbangi dengan kesiapan masyarakat yang cukup agar masyarakat dapat terhindar dari risiko yang akan terjadi. Bayangkan saja, seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa sedikitnya 2 dari 5 pelanggan di Inggris melakukan peminjaman untuk melunasi tagihan pay later. Pelanggan seakan gali lubang tutup lubang. Tentu saja fenomena ini perlu kita waspadai bersama agar tidak terjadi di Indonesia. Apalagi, bila peminjaman tersebut akan dilakukan di pinjaman ilegal.

Risiko gali lubang tutup lubang dan gagal bayar mungkin saja terjadi akibat pengeluaran lebih besar daripada penghasilan. Apalagi, apabila ‘hutang’ tersebut hanya untuk memenuhi gaya hidup dan tak sanggup membayarnya. Tidak salah memang untuk memiliki gaya hidup. Namun, perlu disadari agar metode pembayaran pay later dapat dipahami sebagai cara pembayaran, bukan ‘uang tambahan’ bagi pelanggan tersebut. Hal ini yang perlu menjadi perhatian bersama agar metode pembayaran yang ada menjadi tepat sasaran dan dapat digunakan secara bijak.

Sosialisasi dan edukasi tentu menjadi satu hal yang harus terus menerus dilakukan baik oleh otoritas, swasta, serta masyarakat itu sendiri. Tidak cukup hanya sosialisasi mengenai pentingnya mengatur keuangan, namun juga pentingnya menjaga privasi data agar terhindar dari kejahatan seperti scam, phising, dan lainnya. Dalam jangka pendek, sosialisasi yang masif dan terus menerus dapat dilakukan oleh berbagai pihak, misalnya melalui media sosial. Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat konten media sosial adalah konten yang paling banyak dibuka oleh masyarakat. Dalam jangka panjang, sosialisasi sejak dini dapat dilakukan. Misalnya dengan memasukkan pengaturan keuangan pada materi pelajaran di berbagai jenjang pendidikan untuk membentuk kebiasaan pengaturan keuangan.

Lantas, kita sebenarnya sudah siap masuk ke era digital. Inovasi di sistem pembayaran merupakan hal yang sangat baik, khususnya dalam mencapai inklusi keuangan ke seluruh masyarakat Indonesia karena pembayaran dapat menjadi dasar untuk melakukan peminjaman, investasi, dan asuransi. Tentu karena ketiganya membutuhkan metode pembayaran untuk mengimplementasikannya. Namun, kita masih perlu saling mengingatkan agar bijak dalam menggunakan inovasi metode pembayaran yang sudah ada.


Komentar